Rabu, 25 Maret 2020

OSCE PAP SMEAR




ASMA BRONKIAL


2.1 Asma
2.1.1 Definisi
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.9
Asma juga merupakan sindrom yang kompleks dengan karakteristik obstruksi jalan nafas, hiperresponsif bronkus dan inflamasi pada salur pernafasan.10
Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran  napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.11
2.1.2. Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.12
Baik asma alergik maupun non-alergik dijumpai inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Oleh karena itu, dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi IgE dan Jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = Sel Penyaji Antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inila yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarka mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, trombosit (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktifitas saluran napas. Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktifitas saluran napas.13
Obstruksi jalan napas pada asma juga merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.13
2.1.3. Klasifikasi
            Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma lainnya, maka dari itu Global Initiative for Asthma (GINA) membaginya berdasarkan gambaran klinis, derajat serangan asma dan tingkat kontrol asma. Klasifikasi asma berdasarkan gambaran klinisnya berupa.11
Tabel 2.1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis.
Derajat Asma
Gejala
Gejala Malam
Faal Paru
1.     Intermiten
Bulanan
-        Gejala <1x minggu="" o:p="">
-        Tanpa gejala di luar serangan
-        Serangan singkat
-        ≤2x sebulan

APE ≥80%
-        VEP1≥80% nilai prediksi
APE≥80% nilai terbaik
-        Variabilitas APE<20 o:p="">
2.     Persisten Ringan
Mingguan
-        Gejala >1x/minggu, <1x hari="" o:p="">
-        Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
-        >2x sebulan
APE > 80%
-        VEP1≥80% nilai prediksi
APE≥80% nilai terbaik
-        Variabilitas APE 20-30%
3.     Persisten Sedang
Harian
-        Gejala setiap hari
-        Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
-        Bronkodilator setiap hari
-        > 1x seminggu
APE 60-80%
-        VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
-        Variabilitas APE>30%
4.     Persisten Berat
Kontinyu
-        Gejala terus-menerus
-        Sering kambuh
-        Aktivitas fisik terbatas
-        Sering
APE ≤ 60%
-        VEP1≤ 60% nilai prediksi
APE≤ 60% nilai terbaik
-        Variabilitas APE>30%
(sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman dan Penatalaksanaan di Indonesia 2004)
            Selain itu, Global Initiative for Asthma (GINA) juga mengklasifikasikan asma berdasarkan derajat serangan asma, yaitu:11
1.     Serangan asma ringan dengan aktivitas dapat berjalan, bicara satu kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi terkadang saat ekspirasi.
2.     Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat, lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi, dan kadang-kadang terdengar saat inspirasi.
3.     Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop.
4.     Serangan asma dengan ancaman henti napas, tampak kebingungan, sudah tidak terdengar mengi dan timbul bradikardi.
Harus dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma ringan. Sedangkan penderita asma ringan dapat mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadinya henti napas hingga kematian.
Baru-baru ini, GINA juga mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya kedalam asma terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol.
Tabel 2.2 Tingkat Kontrol Asma berdasarkan GINA11
2.1.4. Faktor Resiko
Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun secara umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor host dan faktor lingkungan.11
1.     Faktor host
a.      Genetik, diantaranya riwayat atopi, pada penderita asma biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga memiliki alergi.
b.     Gender, pada pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah sama dan bertambah banyak pada perempuan usia menopause.
c.      Obesitas, ditandai dengan peningkatan Body Mass Index (BMI) > 30kg/m2. Mekanismenya belum diketahui pasti, namun diketahui penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2.     Faktor lingkungan
a.      Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, spora jamur, kecoa)
b.     Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c.      Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur, udang, coklat, kiwi, jeruk)
d.     Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker, dll)
e.      Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, cat, sulfur)
f.      Ekspresi emosi berlebih, stress dan gangguan emosi.
g.     Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.
h.     Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i.       Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu.
j.       Perubahan cuaca.
2.1.5 Diagnosis
            Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting dalam memudahkan penanganan penyakit asma. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1.     Anamnesis14
a.      Pasien biasanya akan mengeluhkan batuk kronik berulang, mengi, sesak dada, kesulitan bernafas pada malam hari atau secara musiman.
b.     Ada atau tidaknya riwayat asma sebelumnya.
c.      Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada keluarga.
d.     Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu,debu rumah, obat-obatan (aspirin, beta blocker ), olah raga, rangsang emosi yang kuat.
e.      Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma
2.     Pemeriksaan Fisik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien tergantung dari episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma.13
a.      Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit),takikardia, dan pulsus paradoksus.15
b.      Pemeriksaan Thorak16
Pemeriksaan dapat mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami serangan asma dapat dijumpai:
1)     Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal)
2)     Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus
3)     Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
4)     Auskultasi: ekspirasi memanjang, wheezing.
Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.



c.      Pemeriksaan Penunjang
1)     Spirometri13
Pemeriksaan ini adalah cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma, dengan cara melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau (≥200 mL) menunjukkan diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari ≥ 12% atau (≥200 mL) tidak berarti bukan asma. Hal ini dapat dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati normal. Respons terhadap bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas berat, oleh karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan diatas, mungkin diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin, dan bahkan kortikosteroid untuk jangka waktu pengobatan 2-3 minggu.

Pemeriksaan ini juga berguna untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Banyak pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

2)     Arus Puncak Ekspirasi (APE)17
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya  digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan kooperasi penderita dan instruksi yang jelas. Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik  sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
3)     Pengukuran Status Alergi13
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan eosinofil. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Umumnya dilakukan  skin prick test. Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan.
4)     Analisa Gas Darah13
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2< 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PaCO2≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
5)     Foto Toraks13
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
2.1.6. Diagnosis Banding
            Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas.16
Tabel 2.3 Diagnosis banding asma.16
2.1.7. Penatalaksanaan
            Penatalaksanaan asma mempunyai tujuan, yaitu:13
a.      Mencapai dan mempertahankan kontrol gejala-gejala asma
b.     Mempertahankan aktivitas yang normal termasuk olahraga
c.      Menjaga fungsi paru senormal mungkin
d.     Mencegah eksaserbasi asma
e.      Menghindari reaksi adversi obat asma
f.      Mencegah kematian karena asma
Dan untuk mencapai tujuan diatas, GINA merekomendasikan 4 komponen yang saling terkait dalam penatalaksanaan asma:13


1.     Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter
Kerja sama yang baik antara dokter-pasien, akan mempercepat tujuan penatalaksanaan asma. Dengan bimbingan dokter, pasien diharapkan mampu mengontrol asmanya dengan menghindari faktor resiko, mampu mengenal kapan asmanya memburuk, mengetahui tindakan sementara sebelum menghubungi dokter, menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah ditentukan, mengetahui kapan harus menghubungi dokternya, kapan hars mengunjungi instalasi gawat darurat dan akhirnya meningkatkan kepercayaan diri dan ketaatan berobat.

2.     Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor risiko
Dengan bina hubungan yang baik tadi, pasien dapat juga mengetahui faktor pencetus asma mereka dan berusaha menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan asmanya. Berbagai alergen, baik yang ada didalam rumah seperti tungau, debu, bulu binatang, kecoa, atau diluar ruangan serta polusi udara, lingkungan kerja, pengawet makanan, obat-obatan, virus influenza, ketegangan jiwa, rinosinusitis, refluks gastro-esofagal, dan lain sebagainya, patut untuk diidentifikasi dan selanjutnya dihindari.

3.     Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma.
Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara garis besar yang dapat dipergunakan sebagai dasar diagnosis asma, evaluasi kontrol/beratnya asma, tempat perawatan dan tingkat terapi yang diberikan pada pasien yang datang ke klinik asma atau klinik emergensi. Tindak lanjut terapi pasien ditentukan berdasarkan respon pasien hingga pasien dapat pulang untuk berobat.



Alogaritma 1 – Alogaritma Tata Laksana Asma Secara Umum
1.      Batuk memburuk dimalam hari
2.      Mengi berulang
3.      Riwayat Atopik
ASMA
Klasifikasi Kontrol Asma Tingkat 1
Serangan (-)
Serangan (+)
Penatalaksanaan Eksaserbasi Asma (Klinik Asma/Rumah Sakit)
Sedang
Ringan
Berat
Respon Buruk
Respon Tidak Baik
Respon Baik
Berobat Jalan/Pengelolaan Jangka Panjang
Perbaikan (+)
Rawat di Ruangan RS
Perbaikan (+)
Perbaikan (-)
Rawat di ICU
 























Gambar 2.1 Algoritma Tata Laksana Asma secara umum.1

4.     Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma.
Pasien kontrol 1-3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan sekali. Bila ada eksaserbasi kontrol tiap 2-4 minggu, ditanyakan mengenai hasil kontrol asma yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter secara benar atau adanya masalah lain pada pasien. Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu ditingkatkan regimen obat bila tak terkontrol atau terkontrol sebagian, sedangkan bila terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan langkahterapi secara perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang dapat mengontrol. Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena asma adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan secara berkala sebagai respon terhadap tanda-tanda kurangnya kontrol yangditandai oleh gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi.
Pengobatan Farmakologi
Terdapat 2 golongan obat asma, yaitu pengendali (controller) dan pelega (reliever). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti-inflamasi. Reliever adalah obat yang digunakan bila perlu berdasarkan efek cepat untuk menghilangkan bronkokonstriksi dan menghilangkan gejalanya.11

Tabel 2.4 Tabel Golongan Obat Asma
Controller
Reliever
Kortikosteroid (inhalasi, sistemik)
Short acting b2 agonist (SABA) : inhalasi, oral
Leukotriene modifeier
Kortikosteroid sistemik
Long acting b2 agonist (LABA) : inhalas, oral
Antikolinergik : Ipratropium br, Oxitropium
Chromolin: Sodium cromoglycate dan Nedocromil
Teofilin
Teofilin lepas lambat

Anti IgE

Antikolinergik: Tiotropium

           
Pengobatan asma berdasarkan derajatnya, dibagi menjadi:11
1.     Asma Intermiten
a.      Umumnya tidak diperlukan pengontrol
b.     Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi.
c.      Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.
2.     Asma Persisten Ringan
a.      Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan:
1.     Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
1.1  Budenoside                              : 200–400 μg/hari
1.2  Fluticasone propionate           : 100–250 μg/hari
2.     Teofilin lepas lambat
3.     Kromolin
4.     Leukotriene modifiers
b.     Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu.
3.     Asma Persisten Sedang
a.      Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan:
1.1  Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
1.2  Budenoside: 400–800 μg/hari
1.3  Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari
1.4  Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas lambat
1.5  Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis β-2 kerja lama oral
1.6  Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
1.7  Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene modifiers
b.     Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau Agonis β-2 kerja singkat oral, atau Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
c.      Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi
d.     Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah.
4.     Asma Persisten Berat
a.      Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin
b.     Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan:
1.     Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
2.     Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
3.     Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi.
4.     Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas.
2.1.8 Obat Asma
            1. Controller
            a. Kortikosteroid Inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan kortikosteroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Kortikosteroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Kortikosteroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan.
Kurva dosis-respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif jalan napas), tetapi bahkan meningkatkan risiko efek samping. Sehingga, apabila dengan steroid inhalasi tidak dapat mencapai asma terkontrol (walau dosis sudah sesuai dengan derajat berat asma) maka dianjurkan untuk menambahkan obat pengontrol lainnya daripada meningkatkan dosis steroid inhalasi tersebut.1
            b. Kortikosteroid Sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengobatan sesuai berat asma), maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu. Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral1:
·gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
·  bentuk oral, bukan parenteral
· penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
c.      Leukotriene modifeier
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral (tablet). Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi.1
d.     Long acting b2 agonist  (LABA)
Terbutalin, salbutamol dan feneterol memiliki lama kerja 4-6 jam, sedangkan b2 long acting bekerja lebih dari 12 jam seperti salmeterol, formoterol, bambuterol dll. Bentuk aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya local.1
2.     Reliever
a.      Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma. Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah petanda dibutuhkannya glukokortikosteroid oral.1
b.     Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna (bukti B). Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal.1
2.1.9 Komplikasi
            Pada penderita asma komplikasi yang mungkin muncul dengan sejumlah penyakit sebagai berikut:18
a.      Status asmatikus: suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma bronkial akut yang berat dan tidak merespon terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
b.     Atelektasis: ketidak mampuan paru mengembang dan mengempis.
c.      Fraktur iga
d.     Hipoksia
e.      Pneumothoraks
f.      Emfisema
g.     Deformitas thoraks
h.     Obstruksi jalan napas
i.       Gagal napas

2.1.10 Pencegahan dan Prognosis
            Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan sensitisasi alergi (terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan waktu prenatal dan perinatal) atau mencegah terbentuknya asma pada individu yang tersensitisasi. Selain mencegah paparan tembakau/rokok waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak ada intervensi yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma.16
            Asma biasanya kronis, meskipun kadang-kadang masuk ke periode panjang remisi. Untuk prognosis penyakit asma umumnya tergantung pada tingkat keparahan. Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang, asma dapat meningkat dari waktu ke waktu, dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala. Juga dalam kasus yang parah, orang dewasa mungkin mengalami perbaikan, tergantung pada derajat obstruksi diparu-paru dan ketepatan waktu dan efektivitas pengobatan.
Pada sekitar 10 % kasus persisten berat, perubahan dalam struktur dinding saluran udara menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam fungsi paru-paru, bahkan pada pasien yang diobati secara agresif. Fungsi paru-paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma, terutama pada mereka yang merokok dan pada mereka dengan produk silendir yang berlebihan (indikator kontrol perlakuan buruk). Kematian dari asma adalah peristiwa yang relatif jarang, dan kematian asma yang paling dapat dicegah. Hal ini sangat jarang orang yang menerima perawatan yang tepat untuk mati asma. Namun, bahkan jika tidak mengancam nyawa , asma dapat melemahkan dan menakutkan. Asma yang tidak  terkontrol dengan baik dapat mengganggu sekolah dan bekerja, serta kegiatan sehari-hari.













2.2 Asthma Control Test
               Pada konsensus GINA, derajat beratnya asma dibedakan menjadi beberapa kelompok dan berkaitan dengan gejala, keterbatasan aliran napas serta fungsi paru, yaitu intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Namun perlu diketahui bahwa derajat asma tidak hanya berkaitan dengan keparahan penyakitnya, tetapi juga dengan respons terhadap terapi. Contohnya adalah pada asma dengan gejala berat disertai hambatan jalan napas hebat ternyata dapat terkontrol penuh hanya dengan pemberian terapi dosis rendah.19
 
               Derajat beratnya asma juga bukan merupakan gambaran statis, melainkan dapat berubah dalam waktu beberapa bulan ataupun tahun. Kelemahan klasifikasi asma sebelumnya berdasarkan derajat beratnya asma adalah ketidakmampuan dalam memprediksi jenis terapi yang dibutuhkan dan menilai respons terhadap terapi itu sendiri. Atas dasar inilah penilaian derajat kontrol asma dikembangkan dan diharapkan menjadi lebih relevan dan bermanfaat untuk memonitor penyakit sekaligus menjadi pedoman terapi.20-22
 
               Ahli Medis sepakat bahwa Asthma Control Test adalah instrumen sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan perawatan terbaik bagi pasien (usia 12 tahun keatas). Instrumen ini cukup sederhana, dan memiliki beberapa parameter yang dapat dinilai baik oleh pasien sendiri ataupun dokter (seperti tercantum dalam konsensus GINA 2011).11,19
 
               Asthma Control Test yang dikeluarkan oleh American Lung Association (ALA) ini berisikan 5 pertanyaan yang menilai gangguan aktivitas harian akibiat asma; frekuensi gejala asma; gejala malam; penggunaan obat pelega dan persepsi terhadap kontrol asma. Setiap pertanyaan diberi nilai dari angka 1-5 dan jumlahnya menentukan tingkat kontrol asma. Skor 25 berarti asmanya sudah terkontrol secara total, skor antara 20 sampai 24 berarti asmanya terkontrol baik, skor kurang dari atau sama dengan 19 berarti asmanya tidak terkontrol. Skor yang didapat dari tes ini dapat digunakan untuk menentukan terapi.20-22
 
               Dua penelitian dengan menggunakan ACT telah dilakukan di poliklinik Asma RS Persahabatan Jakarta. Penelitian potong lintang oleh Atmoko dkk yang menilai derajat kontrol asma dengan kuesioner ACT di RS Persahabatan ternyata didapatkan 75% (81 dari 107 pasien asma) asma tidak terkontrol. Dan hal ini berhubungan dengan indeks masa tubuh (IMT) pasien, yakni makin tinggi IMT berkaitan dengan kontrol asma yang rendah.22 Penelitian lain oleh Bachtiar D,dkk dengan jumlah pasien jauh lebih besar (344 subyek) menemukan, 33,1% memiliki derajat asma terkontrol (skor ACT >19).24
 
2.3 Pembiayaan
            Asma adalah penyakit saluran napas kronis yang membutuhkan pengobatan secara bertahap dan terus-menerus. Meski sedang tidak dalam masa kambuh, asma tetap membutuhkan obat controller sebagai obat yang dikonsumsi tiap hari untuk membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti-inflamasi. Belum lagi bila terjadi kekambuhan dan harus diberi obat reliever atau bahkan dilarikan ke unit gawat darurat untuk mendapat penanganan yang intensif.
            Hal ini rupanya menjadi beban bagi pasien penderita asma yang sedang dalam pengobatan atau bahkan pasien asma lain yang terpaksa memutus pengobatan dikarenakan masalah biaya. Hal ini tentu sangat berisiko mengingat angka kejadian dan angka kecacatan akibat asma terus meningkat dari waktu kewaktu.
Dari keterbatasan ini, maka pemerintah membuat sebuah sistem jaminan kesehatan nasional yang diharapkandapat memberi manfaat yang besar bagi penderita asma terkait kemampuan untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan tepat waktu dan mendapatkan obat yang tepat ketika mendapat serangan asma serta mendapatkan perawatan asma secara berkelanjutan.
Dalam sistem jaminan kesehatan nasional, asma termasuk dalam penyakit kronis yaitu penyakit yang memerlukan obat rutin selama 30 hari. Penyakit-penyakit yang tergolong dalam kasus kronis ini berdasarkan Permenkes 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan (Manlak) JKN adalah : diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), epilepsy, skizofren, stroke, dan Sindroma Lupus Eritematosus (SLE).25
Biaya pengobatan asma di negara maju berkisar antara 300-1300 juta US$/tahun. Di Amerika biaya yang dikeluarkan untuk menangani perawatan penyakit asma di rumah sakit (eksaserbasi asma) sekitar 11 juta dollar pertahun. Di Australia, biaya untuk perawatan asma berkisar di antara 585-720 juta dollar/tahun, dan asma adalah satu dari sepuluh alasan pasien mengunjungi dokternya.26
Berdasarkan penelitian Listuhayu (2009) pola pengobatan pasien asma di RSUD Dr. Pirngadi Medan yang sangat efektif adalah kombinasi antara fenoterol HBr inhalasi dan budesonide inhalasi serta terbutaline sulfat oral dengan nilai efektivitas 82,35% dengan biaya Rp 616.720,-. Sedangkan biaya total rata-rata pengobatan pasien rawat jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan tiap bulan adalah sebesar Rp 456.318,02 + 103.921,78 dan biaya yang paling rendah adalah fenoterol HBr inhalasi + teofilin oral sebesar Rp 288.949,7 + 39.174,79 tiap bulannya.27
Dari data diatas dapat dikatakan bahwa pengobatan asma memang membutuhkan biaya yang banyak, terlebih untuk pemeriksaan rutin dan obat tiap bulannya. Maka dari itu, pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional ini sangat meringankan biaya yang perlu dikeluarkan dan pasien merasa puas dengan pengobatan yang diberikan dokter spesialis rumah sakit.